Baru-baru ini, isu mengenai Tarif Ojol Tersembunyi ojek online (ojol) kembali memanas setelah Anggota Komisi V DPR RI, Adian Napitupulu, secara vokal menyoroti berbagai biaya tersembunyi yang dibebankan aplikator kepada pengemudi dan konsumen. Dalam sebuah video yang beredar luas, Adian dengan tegas menyatakan bahwa para pengembang aplikasi sejatinya tidak menciptakan lapangan kerja baru, melainkan hanya mengkapitalisasi pekerjaan yang sudah ada sejak era 1960-an dan 1970-an, jauh sebelum aplikasi ojol muncul.
Tarif Ojol Tersembunyi Berkedok Biaya Layanan
Adian Napitupulu membeberkan beberapa jenis biaya yang ia anggap sebagai “Tarif Ojol Tersembunyi” karena tidak memiliki dasar hukum yang jelas:
- Biaya Layanan Aplikasi (Rp 2.000): Adian mempertanyakan legalitas biaya layanan aplikasi sebesar Rp 2.000 yang dikenakan kepada konsumen. Ia menghitung, dengan estimasi 3,1 juta pengemudi, biaya tak terregulasi ini saja bisa mencapai Rp 6 miliar per hari. Angka fantastis ini, menurutnya, mengalir ke kantong aplikator tanpa regulasi yang jelas.
- Biaya “Safe Travel” (Rp 1.000): Adian juga menyoroti biaya “Safe Travel” sebesar Rp 1.000, yang diidentifikasi sebagai biaya asuransi. Ia mempertanyakan mengapa konsumen harus membayar biaya ini, padahal mereka sudah membayar asuransi saat mengurus SIM atau STNK. Biaya ini diperkirakan menghasilkan Rp 3 miliar setiap harinya.
- Biaya Lokasi (Rp 18.000 untuk Mobil): Khusus untuk layanan mobil, Adian menemukan adanya biaya lokasi tak terregulasi sebesar Rp 18.000, terutama untuk penjemputan di bandara. Ia mempertanyakan ke mana aliran dana ini.
- Promo dan Diskon yang Menyesatkan: Adian mengklaim bahwa “promo” atau “voucher diskon” yang ditawarkan aplikator sebenarnya menyesatkan. Ia menuduh bahwa diskon tersebut bukanlah potongan harga sungguhan, melainkan berasal dari biaya-biaya tak terregulasi yang telah dikumpulkan dari konsumen dan pengemudi.
- Tarif “Hemat” dan “Goceng” yang Merugikan Pengemudi: Adian juga menjelaskan program tarif “hemat”, di mana pengemudi membayar Rp 20.000 per hari untuk berpartisipasi, namun hanya menerima Rp 5.000 per pengantaran, sementara aplikator mengambil Rp 14.200 dari total tarif Rp 19.200. Lebih parah lagi, dalam paket “goceng” untuk pesanan ganda, pengemudi hanya menerima Rp 2.500 untuk pengantaran kedua.
Baca Juga : Review Squid Game Season 3: Pemenangnya Yang Gak Main
Napitupulu menegaskan bahwa pungutan tak terregulasi ini mencapai triliunan Rupiah setiap tahunnya dan mendesak pemerintah untuk segera turun tangan melindungi 20 juta jiwa yang menggantungkan hidupnya pada layanan ojol.
Hasil Rapat dengan Kementerian Perhubungan: Sorotan dan Rencana Kenaikan Tarif

Kritik tajam Adian Napitupulu ini tidak berhenti di video tersebut. Dalam rapat kerja Komisi V DPR RI dengan Menteri Perhubungan pada Senin, 30 Juni 2025, Adian kembali mencecar Kementerian Perhubungan (Kemenhub) terkait masalah tarif ojol ini. Ia menantang Kemenhub untuk membuka data dan mempertimbangkan kembali regulasi tarif yang kerap berubah, seperti Permen 1001 yang mengatur potongan 15% plus 5%. Adian menekankan pentingnya transparansi dan pertimbangan konkret di balik setiap kebijakan, bukan sekadar keputusan kementerian.
Baca Juga :Tragedi di Rinjani: Kisah Evakuasi WNA dan Tantangan Gunung
Menanggapi berbagai keluhan dan desakan, Kemenhub melalui Direktur Jenderal Perhubungan Darat, Aan Suhanan, menyampaikan rencana penyesuaian tarif ojek online roda dua. Kenaikan tarif ini diperkirakan berkisar antara 8% hingga 15%, disesuaikan berdasarkan zonasi wilayah operasional. Kemenhub juga menyatakan akan segera memanggil para aplikator untuk membahas implementasi kenaikan tarif ini, yang pada prinsipnya telah disetujui oleh aplikator.
Namun, rencana kenaikan tarif ini masih menjadi perdebatan. Beberapa pihak khawatir bahwa kenaikan tarif justru akan membebani konsumen dan tidak serta-merta menjamin peningkatan kesejahteraan pengemudi, terutama jika potongan aplikator sebesar 20% tetap diberlakukan. Kemenhub sendiri masih mengkaji aspirasi mitra pengemudi terkait usulan pembatasan potongan biaya aplikasi menjadi maksimal 10%. Kebijakan final mengenai hal ini belum diputuskan, dan Kemenhub menyatakan akan berhati-hati dalam setiap perubahan aturan.
Implikasi dan Harapan ke Depan
Polemik tarif ojol ini mencerminkan kompleksitas hubungan antara pengemudi, aplikator, dan konsumen. Adian Napitupulu menyoroti bahwa masalah utama bukanlah sekadar kenaikan tarif, tetapi transparansi dan keadilan dalam skema potongan yang diterapkan aplikator. Diperlukan terobosan hukum yang komprehensif, mungkin dalam bentuk undang-undang, untuk memberikan kepastian dan solusi win-win bagi semua pihak.
Masyarakat dan para pengemudi ojol menantikan langkah konkret dari pemerintah untuk menciptakan ekosistem transportasi online yang lebih adil dan berkelanjutan. Kenaikan tarif harus benar-benar berpihak pada kesejahteraan pengemudi dan tidak hanya menguntungkan korporasi besar, sambil tetap menjaga daya beli masyarakat.
Comment